ILMU ?

ILMU ?
Adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).
Contoh: semua segitiga bersudut 180º.
Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

HIDUP MANUSIA


MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku dan perbuatannya yang sengaja ataupun tidak sengaja. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang bertanggung jawab, karena manusia memiliki tuntutan yang besar untuk hidup. Bertanggung jawab mengingat ia mementingkan sejumlah peranan dalam konteks social, individual ataupun teologis. Dalam konteks social, manusia merupakan mahluk social yang tidak dapat hidup sendirian. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jalinan social harus dapat dipertanggungjawabkan, sehingga tidak mengganggu consensus nilai yang telah disetujui bersama. Tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis.
Manusia sebagai mahluk individual artinya, manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (keseimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap Tuhannya. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya timbul karena manusia sadar akan keyakinannya terhadap nilai-nilai yang dianutnya.
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian.
Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung risiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Orang-orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.

MANUSIA DAN KEGELISAHAN
Kegelisahan asal kata gelisah artinya resah, rasa tak tentram, rasa selalu khawatir, tidak tenang, tidak sabar menunggu, cemas dsb. Menurut Sigmund Freud ada tiga macam kecemasan :
(1) Kecemasan kenyataan, yaitu kecemasan karena ada bahaya dari luar yang mengancam.
(2) Kecemasan Neurorik (syaraf), yaitu kecemasan karena pengamatan tentang bahaya dari naluriah seperti ; phobia, gugup, kecemasan karena bayangan diri sendiri.
(3) Kecemasan moral, yaitu kecemasan yang disebabkan oleh sifat tamak, kikir, iri hati, dengki dan lain-lain yang tidak terpuji dihadapan manusia dan Alloh.
Orang selalu gelisah karena takut akan kehilangan hak, nama baik, ancaman dari luar dan dalam. Kecemasan disebabkan oleh sifat tamak, kikir, iri, dengki dan sifat-sifat lainnya yang tidak terpuji dihadapan manusia dan Alloh. Usaha-usaha mengatasi kecemasan/kegelisahan :
(1) bersikap tenang,
(2) pasrah percaya dan berlindung kepada Alloh.
 
MANUSIA DAN KEINDAHAN
Keindahan asal kata dari “benum”, yang berarti kebaikan, dalam bahasa Inggris menjadi “beautiful”. Keindahan asal kata dasar indah yang berarti bagus, cantik, elok, molek. Keindahan identik dengan kebenaran. Segala yang indah selalu mengandung kebenaran, namun meskipun kelihatannya indah tetapi tidak mempunyai unsur kebenaran, maka hal itu pada prinsipnya tidak indah. Keindahan di dapatkan dari melihat alam secara langsung, melalui radio, TV, film dan media lain. Untuk mendapatkan dan menikmati keindahan, orang sering membuang waktu, uang, tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Ada suatu kecenderungan, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin tinggi pula hasrat dan keinginan untuk menghargai keindahan. Keindahan dalam arti luas meliputi : seni, alam, moral, intelektual. Sedangkan dalam arti sempit, sering diartikan keindahan bentuk dan warna.
 KEHALUSAN
Kehalusan dalam bertingkah laku sangat berhubungan dengan perbuatan lemah lembut, sopan santun, baik budi bahasa dan beradab. Kehalusan dalam bertingkah laku ditunjukkan dalam tingkah laku. Kehalusan dalam bersikap menunjukkan orang itu mempunyai sopan santun dan mempunyai budi bekerti.
Sikap halus atau lembut merupakan gambaran hati yang tulus serta cinta kasih terhadap sesame. Sikap ini juga merupakan perwujudan dari sifat ramah, sopan, sederhana dalam pergaulan. Sikap halus juga dimiliki orang yang rendah hati yaitu orang yang halus tutur katanya, sopan tingkah lakunanya, tidak sok, tidak membedakan pangkat dan derajat dalam pergaulan. Sikap halus dimulai dari keluarga. Dalam keluarga sudah terbiasa dengan suasana damai, bahagia dan dijumpai kelembutan. Hal ini niscaya akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Pergaulan dalam keluarga dengan demikian akan mampu melahirkan kehalusan dalam pergaulan hingga mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Moral public sebagai komponen yang sangat penting dalam pembangunan demokrasi. Ketika moral public tidak mendapat perhatian yang memadai maka akan timbul berbagai masalah serius seperti rendahnya kualitas pelayanan public, keadilan, kebebasan mengekspresikan diri, perdamaian dan persoalan-persoalan lainnya.
Penyakit manusia diantaranya munafik, pura-pura, tidak bertanggung jawab, tidak mau dikritik, feudal, berwatak plin-plan, kamuplase, boros, bermuka seribu, tukang tipu. Hal ini akan menghilangkan sifat kehalusan dalam diri manusia.

PRASANGKA SOSIAL


Pelopor teori prasangka, G. Allport menyebutkan, bahwa prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes, yang dapat dinyatakan dan dirasakan. Antipati bisa muncul pada seseorang secara individual atau pada kelompok.

Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin mendengar ucapan “ Saya tahu, kalau Bapak X yang orang (Batak, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Madura, dsb) itu kelakuannya begini begitu”. ini adalah ungkapan individual yang belum tentu kebenarannya. Atau “ Orang Madura kalau berselisih dengan orang Banjar, jadilah......; tapi kalau orang Banjar berselisih dengan orang Jawa biasanya bisa diatur”. Ini adalah ungkapan kelompok (etnis), yang belum tentu juga kebenarannya. Tetapi kata kunci dari prasangka dalam teori G. Allport adalah “antipati” Sementara Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya). Menurut Adorno, tidak ada prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang yang berbeda. Kesimpulannya, prasangka sangat tergantung dari cara orang memandang prasangka tersebut. Kedua tokoh prasangka tersebut sama-sama menyetujui, bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran keyakinan dan kepercayaan. Dengan demikian, prasangka bukanlah tindakan.

Prasangka menjadi tindakan manakala ada diskriminasi yang mengarah ke tindakan sistematis, yaitu tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan (relasi), pergaulan serta komunkasi antar manusia. Misalnya dengan cara mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan pemindahan (pengusiran, penelantaran, migrasi, emigrasi, imigrasi, resetlement, dan sebagainya), membuat huru-hara, teror, profokasi, dan sebagainya.

Prasangka muncul disebabkan oleh berbagai faktor. Jhonson (1986) menengarai, bahwa prasangka itu disebabkan karena :
(1) Adanya perbedaan persepsi antara dua kelompok,
(2) Nilai budaya kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas,
(3) Stereotipe antar etnik, dan
(4) Adanya kelompok etnik yang merasa paling super dan menjadikan kelompok etnis lain menjadi inferior (Misal Jawa: Jogja, Solo, Semarangan, Pantura, Banjar; atau Dayak Hulu, Dayak Hilir, Dayak Iban; atau Banjar Hulu Sungai Utara, Banjar Hulu Sungai Tengah, Banjar Hulu Sungai Selatan, dan seterusnya ).

Zastrow (1989) mengemukakan bahwa prasangka bersumber dari:
(1) Adanya upaya mempertahankan ciri kelompok secara berlebihan,
(2) Frustasu, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang,
(3) Ketidak samaan dan kerendah dirian,
(4) Kesewenang-wenangan,
(5) Alasan historis,
(6) Persaingan yang tidak sehat yang mengarah kepada eksplotasi,
(7) Cara-cara sosialisasi yang berlebihan, dan
(8) Cara mamandang kelompok lain dengan sinis.

Prasangka sosial akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap obyek, subyek atau individu maupun kelompok lain yang menjadi sasaran prasangka sosial mereka (Schofield, 1980).

    OWNER

    Foto saya
    Blokagung Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
    Eye's Consultant & Owner

    Nimas Alfi Noorissiyam

    WS Collection's New C.55

    WS Collection's New C.55
    Sport Mode

    New C.35

    New  C.35
    Sport Mode

    New C.10

    New C.10
    Sport Mode

    B.2

    B.2
    Dially Mode

    C.2

    C.2
    New Limited Mode

    B.4

    B.4
    Dially Mode

    B.2

    B.2
    Dially Mode

    A.95

    A.95
    Dially Mode

    A.85

    A.85
    Dially Mode

    A.85

    A.85
    Dially Mode